Masa Klasik (Hindu-Budha)
1. Kerajaan Tarumanagara
Kerajaan Tarumanagara atau Taruma
adalah sebuah kerajaan yang pernah berkuasa di wilayah pulau Jawa bagian barat
pada abad ke-4 hingga abad ke-7 M, yang merupakan salah satu kerajaan tertua di
Nusantara yang diketahui. Dalam catatan, kerajaan Tarumanagara adalah kerajaan
Hindu beraliran Wisnu.
Bila menilik catatan prasasti,
tidak ada penjelasan yang pasti siapa yang mendirikan pertama kal kerajaan
Taruma. Raja yang berkuasa adalah Purnawarman. Pada tahun 417 ia memerintahkan
penggalian Sungai Gomati dan Candrabaga sepanjang 6112 tombak (sekitar 11 km).
Selesai penggalian, sang prabu mengadakan selamatan dengan menyedekahkan 1.000
ekor sapi kepada kaum brahmana.PrasastiPrasasti Kebon Kopi,dibuat sekitar 400 M
(H Kern 1917), ditemukan di perkebunan kopi milik Jonathan Rig, Ciampea,
BogorPrasasti Tugu,ditemukan di Kampung Batutumbu, Desa Tugu, Kecamatan
Tarumajaya, Kabupaten Bekasi, sekarang disimpan di museum di Jakarta.
Prasasti tersebut isinya
menerangkan penggalian Sungai Candrabaga oleh Rajadirajaguru dan penggalian
Sungai Gomati oleh Purnawarman pada tahun ke-22 masa pemerintahannya.Penggalian
sungai tersebut merupakan gagasan untuk menghindari bencana alam berupa banjir
yang sering terjadi pada masa pemerintahan Purnawarman, dan kekeringan yang
terjadi pada musim kemarau.Prasasti Munjul atau Prasasti Cidanghiang, ditemukan
di aliran Sungai Cidanghiang yang mengalir di Desa Lebak, Kecamatan Munjul,
Kabupaten Pandeglang, Banten, berisi pujian kepada Raja Purnawarman.
Prasasti Ciaruteun, Ciampea,
BogorPrasasti Muara Cianten, Ciampea, BogorPrasasti Jambu, Nanggung,
BogorPrasasti Pasir Awi, Citeureup, BogorLahan tempat prasasti itu ditemukan
berbentuk bukit rendah berpermukaan datar dan diapit tiga batang sungai:
Cisadane, Cianten dan Ciaruteun. Sampai abad ke-19, tempat itu masih dilaporkan
dengan nama Pasir Muara. Dahulu termasuk bagian tanah swasta Ciampea. Sekarang
termasuk wilayah Kecamatan Cibungbulang.Kampung Muara tempat prasasti Ciaruteun
dan Telapak Gajah ditemukan, dahulu merupakan sebuah "kota pelabuhan
sungai" yang bandarnya terletak di tepi pertemuan Cisadane dengan Cianten.
Sampai abad ke-19 jalur sungai
itu masih digunakan untuk angkutan hasil perkebunan kopi. Sekarang masih
digunakan oleh pedagang bambu untuk mengangkut barang dagangannya ke daerah
hilir.Prasasti pada zaman ini menggunakan aksara Sunda kuno, yang pada awalnya
merupakan perkembangan dari aksara tipe Pallawa Lanjut, yang mengacu pada model
aksara Kamboja dengan beberapa cirinya yang masih melekat. Pada zaman ini,
aksara tersebut belum mencapai taraf modifikasi bentuk khasnya sebagaimana yang
digunakan naskah-naskah (lontar) abad ke-16.Prasasti Pasir MuaraDi Bogor,
prasasti ditemukan di Pasir Muara, di tepi sawah, tidak jauh dari prasasti
Telapak Gajah peninggalan Purnawarman.
Prasasti itu kini tak berada
ditempat asalnya. Dalam prasasti itu dituliskan :ini sabdakalanda rakryan juru
panga-mbat i kawihaji panyca pasagi marsa-n desa barpulihkan haji
su-ndaTerjemahannya menurut Bosch:Ini tanda ucapan Rakryan Juru Pengambat dalam
tahun (Saka) kawihaji (8) panca (5) pasagi (4), pemerintahan begara
dikembalikan kepada raja Sunda.Karena angka tahunnya bercorak
"sangkala" yang mengikuti ketentuan "angkanam vamato gatih"
(angka dibaca dari kanan), maka prasasti tersebut dibuat dalam tahun 458 Saka
atau 536 Masehi.
Prasasti CiaruteunPrasasti
Ciaruteun ditemukan pada aliran Sungai Ciaruteun, seratus meter dari pertemuan
sungai tersebut dengan Sungai Cisadane; namun pada tahun 1981 diangkat dan
diletakkan di dalam cungkup. Prasasti ini peninggalan Purnawarman, beraksara
Palawa, berbahasa Sansekerta. Isinya adalah puisi empat baris, yang
berbunyi:vikkrantasyavanipateh shrimatah purnavarmmanah tarumanagararendrasya
vishnoriva padadvayamTerjemahannya menurut Vogel:Kedua (jejak) telapak kaki
yang seperti (telapak kaki) Wisnu ini kepunyaan raja dunia yang gagah berani
yang termashur Purnawarman penguasa Tarumanagara.
Selain itu, ada pula gambar
sepasang "pandatala" (jejak kaki), yang menunjukkan tanda kekuasaan
&mdash& fungsinya seperti "tanda tangan" pada zaman sekarang.
Kehadiran prasasti Purnawarman di kampung itu menunjukkan bahwa daerah itu
termasuk kawasan kekuasaannya. Menurut Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara
parwa II, sarga 3, halaman 161, di antara bawahan Tarumanagara pada masa
pemerintahan Purnawarman terdapat nama "Rajamandala" (raja daerah)
Pasir Muhara.Prasasti Telapak GajahPrasasti Telapak Gajah bergambar sepasang
telapak kaki gajah yang diberi keterangan satu baris berbentuk puisi
berbunyi:jayavi s halasya tarumendrsaya hastinah airavatabhasya vibhatidam
padadavayamTerjemahannya:Kedua jejak telapak kaki adalah jejak kaki gajah yang
cemerlang seperti Airawatakepunyaan penguasa Tarumanagara yang jaya dan
berkuasa.Menurut mitologi Hindu, Airawata adalah nama gajah tunggangan Batara
Indra dewa perang dan penguawa Guntur.
Menurut Pustaka Parawatwan i
Bhumi Jawadwipa parwa I, sarga 1, gajah perang Purnawarman diberi nama Airawata
seperti nama gajah tunggangan Indra. Bahkan diberitakan juga, bendera Kerajaan
Tarumanagara berlukiskan rangkaian bunga teratai di atas kepala gajah. Demikian
pula mahkota yang dikenakan Purnawarman berukiran sepasang lebah.Ukiran bendera
dan sepasang lebah itu dengan jelas ditatahkan pada prasasti Ciaruteun yang
telah memancing perdebatan mengasyikkan di antara para ahli sejarah mengenai
makna dan nilai perlambangannya. Ukiran kepala gajah bermahkota teratai ini
oleh para ahli diduga sebagai "huruf ikal" yang masih belum
terpecahkan bacaaanya sampai sekarang.
Demikian pula tentang ukiran
sepasang tanda di depan telapak kaki ada yang menduganya sebagai lambang
labah-labah, matahari kembar atau kombinasi surya-candra (matahari dan bulan).
Keterangan pustaka dari Cirebon tentang bendera Tarumanagara dan ukiran
sepasang "bhramara" (lebah) sebagai cap pada mahkota Purnawarman
dalam segala "kemudaan" nilainya sebagai sumber sejarah harus diakui
kecocokannya dengan lukisan yang terdapat pada prasasti Ciaruteun.Prasasti
lainDi daerah Bogor, masih ada satu lagi prasasti lainnya yaitu prasasti batu
peninggalan Tarumanagara yang terletak di puncak Bukit Koleangkak, Desa Pasir
Gintung, Kecamatan Leuwiliang.
Pada bukit ini mengalir (sungai)
Cikasungka. Prasasti inipun berukiran sepasang telapak kaki dan diberi
keterangan berbentuk puisi dua baris:shriman data kertajnyo narapatir - asamo
yah pura tarumayam nama shri purnnavarmma pracurarupucara fedyavikyatavammo
tasyedam - padavimbadavyam arnagarotsadane nitya-dksham bhaktanam yangdripanam
- bhavati sukhahakaram shalyabhutam ripunam.Terjemahannya menurut Vogel:Yang
termashur serta setia kepada tugasnya ialah raja yang tiada taranya bernama Sri
Purnawarman yang memerintah Taruma serta baju perisainya tidak dapat ditembus
oleh panah musuh-musuhnya; kepunyaannyalah kedua jejak telapak kaki ini, yang
selalu berhasil menghancurkan benteng musuh, yang selalu menghadiahkan jamuan
kehormatan (kepada mereka yang setia kepadanya), tetapi merupakan duri bagi
musuh-musuhnya.
2. Kerajaan Pakuan Pajajaran
PRASASTI BATUTULIS
Prasasti Batutulis geus
dialihaksarakeun ku sababaraha urang ahli, di antarana Friederich (1853), Holle
(1869), Pleyte (1911), Purbacaraka (1921), jeung Noorduyn (1957). Ku Saléh
Danasasmita, alihaksarana téh kieu,
0 0 wang na pun ini sakakala,
prebu ratu purané pun, diwastu
diya wingaran prebu guru
déwataprana diwastu diya dingaran sri
baduga maharaja ratu haji di
pakwan pajajaran sri sang ratu dé-wata pun ya nu nyusuk na pakwan diya anak
rahyang nis-kala sa(ng) sida-mokta di gunatiga i(n)cu rahyang niskala wastu
ka(n)cana sa(ng), sida-mokta ka
nusalara(ng), ya siya nu nyiyan sakaka-
la gugunungan ngabalay nyiyan
samida, nyiyan sanghyang talagarena mahawijaya, ya siya pun 0 0 i saka, panca
panda-
wa '(m)ban bumi 0 0
Pakuan Pajajaran atau Pakuan
(Pakwan) atau Pajajaran adalah pusat pemerintahan Kerajaan Sunda, sebuah
kerajaan yang selama beberapa abad (abad ke-7 hingga abad ke-16) pernah berdiri
di wilayah barat pulau Jawa. Lokasi Pakuan Pajajaran berada di wilayah Bogor,
Jawa Barat sekarang.
Hampir secara umum penduduk Bogor
mempunyai keyakinan bahwa Kota Bogor mempunyai hubungan lokatif dengan Kota
Pakuan, ibukota Pajajaran. Asal-usul dan arti Pakuan terdapat dalam berbagai
sumber. Di bawah ini adalah hasil penelusuran dari sumber-sumber tersebut
berdasarkan urutan waktu:
Naskah Carita Waruga Guru
(1750-an). Dalam naskah berbahasa Sunda Kuna ini diterangkan bahwa nama Pakuan
Pajajaran didasarkan bahwa di lokasi tersebut banyak terdapat pohon Pakujajar.
K.F. Holle (1869). Dalam tulisan
berjudul De Batoe Toelis te Buitenzorg (Batutulis di Bogor), Holle menyebutkan
bahwa di dekat Kota Bogor terdapat kampung bernama Cipaku, beserta sungai yang
memiliki nama yang sama. Di sana banyak ditemukan pohon paku. Jadi menurut
Holle, nama Pakuan ada kaitannya dengan kehadiran Cipaku dan pohon paku. Pakuan
Pajajaran berarti pohon paku yang berjajar ("op rijen staande pakoe
bomen").
G.P. Rouffaer (1919) dalam
Encyclopedie van Niederlandsch Indie edisi Stibbe tahun 1919. Pakuan mengandung
pengertian "paku", akan tetapi harus diartikan "paku jagat"
(spijker der wereld) yang melambangkan pribadi raja seperti pada gelar Paku
Buwono dan Paku Alam. "Pakuan" menurut Fouffaer setara dengan
"Maharaja". Kata "Pajajaran" diartikan sebagai
"berdiri sejajar" atau "imbangan" (evenknie). Yang
dimaksudkan Rouffaer adalah berdiri sejajar atau seimbang dengan Majapahit. Sekalipun
Rouffaer tidak merangkumkan arti Pakuan Pajajaran, namun dari uraiannya dapat
disimpulkan bahwa Pakuan Pajajaran menurut pendapatnya berarti "Maharaja
yang berdiri sejajar atau seimbang dengan (Maharaja) Majapahit". Ia
sependapat dengan Hoesein Djajaningrat (1913) bahwa Pakuan Pajajaran didirikan
tahun 1433.
R. Ng. Poerbatjaraka (1921).
Dalam tulisan De Batoe-Toelis bij Buitenzorg (Batutulis dekat Bogor) ia
menjelaskan bahwa kata "Pakuan" mestinya berasal dari bahasa Jawa
kuno "pakwwan" yang kemudian dieja "pakwan" (satu
"w", ini tertulis pada Prasasti Batutulis). Dalam lidah orang Sunda
kata itu akan diucapkan "pakuan". Kata "pakwan" berarti
kemah atau istana. Jadi, Pakuan Pajajaran, menurut Poerbatjaraka, berarti
"istana yang berjajar"(aanrijen staande hoven).
H. Ten Dam (1957). Sebagai
Insinyur Pertanian, Ten Dam ingin meneliti kehidupan sosial-ekonomi petani Jawa
Barat dengan pendekatan awal segi perkembangan sejarah. Dalam tulisannya,
Verkenningen Rondom Padjadjaran (Pengenalan sekitar Pajajaran), pengertian
"Pakuan" ada hubungannya dengan "lingga" (tonggak) batu
yang terpancang di sebelah prasasti Batutulis sebagai tanda kekuasaan. Ia
mengingatkan bahwa dalam Carita Parahyangan disebut-sebut tokoh Sang Haluwesi
dan Sang Susuktunggal yang dianggapnya masih mempunyai pengertian
"paku".
Ia berpendapat bahwa
"pakuan" bukanlah nama, melainkan kata benda umum yang berarti
ibukota (hoffstad) yang harus dibedakan dari keraton. Kata
"pajajaran" ditinjaunya berdasarkan keadaan topografi. Ia merujuk laporan
Kapiten Wikler (1690) yang memberitakan bahwa ia melintasi istana Pakuan di
Pajajaran yang terletak antara Sungai Besar dengan Sungai Tanggerang (disebut
juga Ciliwung dan Cisadane). Ten Dam menarik kesimpulan bahwa nama
"Pajajaran" muncul karena untuk beberapa kilometer Ciliwung dan
Cisadane mengalir sejajar. Jadi, Pakuan Pajajaran dalam pengertian Ten Dam
adalah Pakuan di Pajajaran atau "Dayeuh Pajajaran".
Sebutan "Pakuan",
"Pajajaran", dan "Pakuan Pajajaran" dapat ditemukan dalam
Prasasti Batutulis (nomor 1 & 2) sedangkan nomor 3 bisa dijumpai pada
Prasasti Kebantenan di Bekasi.
Dalam naskah Carita Parahiyangan
ada kalimat berbunyi "Sang Susuktunggal, inyana nu nyieunna palangka
Sriman Sriwacana Sri Baduga Maharajadiraja Ratu Haji di Pakwan Pajajaran nu
mikadatwan Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati, inyana pakwan Sanghiyang
Sri Ratu Dewata" (Sang Susuktunggal, dialah yang membuat tahta Sriman
Sriwacana (untuk) Sri Baduga Maharaja Ratu Penguasa di Pakuan Pajajaran yang
bersemayam di keraton Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati, yaitu pakuan
Sanghiyang Sri Ratu Dewata).
Sanghiyang Sri Ratu Dewata adalah
gelar lain untuk Sri Baduga. Jadi yang disebut "pakuan" itu adalah
"kadaton" yang bernama Sri Bima dan seterunya. "Pakuan"
adalah tempat tinggal untuk raja, biasa disebut keraton, kedaton atau istana.
Jadi tafsiran Poerbatjaraka lah yang sejalan dengan arti yang dimaksud dalam
Carita Parahiyangan, yaitu "istana yang berjajar". Tafsiran tersebut
lebih mendekati lagi bila dilihat nama istana yang cukup panjang tetapi terdiri
atas nama-nama yang berdiri sendiri. Diperkirakan ada lima (5) bangunan keraton
yang masing-masing bernama: Bima, Punta, Narayana, Madura dan Suradipati.
Inilah mungkin yang biasa disebut dalam peristilahan klasik "panca persada"
(lima keraton). Suradipati adalah nama keraton induk. Hal ini dapat
dibandingkan dengan nama-nama keraton lain, yaitu Surawisesa di Kawali,
Surasowan di Banten dan Surakarta di Jayakarta pada masa silam.
Karena nama yang panjang itulah
mungkin orang lebih senang meringkasnya, Pakuan Pajajaran atau Pakuan atau
Pajajaran. Nama keraton dapat meluas menjadi nama ibukota dan akhirnya menjadi
nama negara. Contohnya : Nama keraton Surakarta Hadiningrat dan Ngayogyakarta
Hadiningrat, yang meluas menjadi nama ibukota dan nama daerah. Ngayogyakarta
Hadiningrat dalam bahasa sehari-hari cukup disebut Yogya.
Pendapat Ten Dam (Pakuan =
ibukota ) benar dalam penggunaan, tetapi salah dari segi semantik. Dalam
laporan Tome Pires (1513) disebutkan bahwa bahwa ibukota kerajaan Sunda itu
bernama "Dayo" (dayeuh) dan terletak di daerah pegunungan, dua hari
perjalanan dari pelabuhan Kalapa di muara Ciliwung. Nama "Dayo"
didengarnya dari penduduk atau pembesar Pelabuhan Kalapa. Jadi jelas, orang
Pelabuhan Kalapa menggunakan kata "dayeuh" (bukan "pakuan")
bila bermaksud menyebut ibukota. Dalam percakapan sehari-hari, digunakan kata
"dayeuh", sedangkan dalam kesusastraan digunakan "pakuan" untuk
menyebut ibukota kerajaan.
Untuk praktisnya, dalam tulisan
berikut digunakan "Pakuan" untuk nama ibukota dan
"Pajajaran" untuk nama negara, seperti kebiasaan masyarakat Jawa
Barat sekarang ini.
LOKASI KUNO
NASKAH KUNO
Dalam kropak (tulisan dari daun lontar atau daun nipah
yang diberi nomor 406 di museum pusat terdapat petunjuk yang mengarah kepada
lokasi Pakuan.. Kropak 406 sebagian telah diterbitkan (biasa tulisan dari daun
lontar tulisan dari daun lontar atau daun
nipah yang diberi daun nipah yang diberi nomor 406 di Museum Pusat ontar
atau daun nipah yang diberi nomor 406 di Mueseum Pusat terdapat petunjuk yang
mengarah kepada lokasi Pakuan. Kropak 406 sebagian telah diterbitkan khusus
dengan nama Carita Parahiyangan. Dalam bagian yang belum diterbitkan (biasa
disebut fragmen K 406) terdapat keterangan mengenai kisah pendirian keraton Sri
Bima, Punta, Narayana Madura Suradipati:
"Di inya urut kadatwan, ku
Bujangga Sedamanah ngaran Sri Kadatwan Bima Punta Narayana Madura Suradipati.
Anggeus ta tuluy diprebolta ku Maharaja Tarusbawa deung Bujangga Sedamanah.
Disiar ka hulu Ci Pakancilan. Katimu Bagawat Sunda Mayajati. Ku Bujangga
Sedamanah dibaan ka hareupeun Maharaja Tarusbawa."
(Di sanalah bekas keraton yang
oleh Bujangga Sedamanah diberi nama Sri Kadatuan Bima Punta Narayana Madura Suradipati.
Setelah selesai [dibangun] lalu diberkati oleh Maharaja Tarusbawa dan Bujangga
Sedamanah. Dicari ke hulu Ci Pakancilan. Ditemukanlah Bagawat Sunda Majayati.
Oleh Bujangga Sedamanah dibawa ke hadapan Maharaja Tarusbawa).
Dari sumber kuno itu dapat
diketahui bahwa letak kraton diketaui bahwa Dari sumber kuno itu dapat
diketahui bahwa letak kraton tidak akan terlalu jauh dari hulu Ci Pakancilan. Hulu Sungai ini terletak di
dekat lokasi kampung lawang Dari sumber kuno itu dapat diketahui bahwa letak
keraton tidak akan terlalu jauh dari "hulu Ci Pakancilan". Hulu
sungai ini terletak di dekat lokasi kampung Lawanggintung yang sekarang, sebab
ke bagian hulu sungai ini disebut Ciawi. Dari naskah itu pula kita mengetahui
bahwa sejak jaman Pajajaran sungai itu sudah bernama Ci Pakancilan. Hanyalah
juru pantun kemudian menerjemahkannya menjadi Ci Peucang. Dalam bahasa Sunda
Kuna dan Jawa Kuna kata "kancil" memang berarti "peucang".
BERITA-BERITA VOC
Laporan tertulis pertama mengenai
lokasi Pakuan diperoleh dari catatan perjalan ekspedisi pasukan VOC
("Verenigde Oost Indische Compagnie"/Perserikatan Kumpeni Hindia
Timur) yang oleh bangsa kita lumrah disebut Kumpeni. Karena Inggris pun
memiliki perserikatan yang serupa dengan nama EIC ("East India
Company"), maka VOC sering disebut Kumpeni Belanda dan EIC disebut Kumpeni
Inggris.
Setelah mencapai persetujuan
dengan Cirebon (1681), Kumpeni Belanda menandatangani persetujuan dengan Banten
(1684). Dalam persetujuan itu ditetapkan Cisadane menjadi batas kedua belah
pihak.
LAPORAN SCIPIO
Dua catatan penting dari
ekspedisi Scipio adalah:
Catatan perjalanan antara Parung
Angsana (Tanah Baru) menuju Cipaku dengan melalui Tajur, kira-kira lokasi
Pabrik "Unitex" sekarang. Catatannya adalah sbb.: "Jalan dan
lahan antara Parung Angsana dengan Cipaku adalah lahan yang bersih dan di sana
banyak sekali pohon buah-buahan, tampaknya pernah dihuni".
Lukisan jalan setelah ia
melintasi Ciliwung. Ia mencatat "Melewati dua buah jalan dengan pohon
buah-buahan yang berderet lurus dan 3 buah runtuhan parit". Dari anggota
pasukannya, Scipio memperoleh penerangan bahwa semua itu peninggalan dari Raja
Pajajaran.
Dari perjalanannya disimpulkan
bahwa jejak Pajajaran yang masih bisa memberikan "kesan wajah"
kerajaan hanyalah "Situs Batutulis".
Penemuan Scipio segera dilaporkan
oleh Gubernur Jenderal Joanes Camphuijs kepada atasannya di Belanda. Dalam
laporan yang ditulis tanggal 23 Desember 1687, ia memberitakan bahwa menurut
kepercayaan penduduk, "dat hetselve paleijs en specialijck de verheven
zitplaets van den getal tijgers bewaakt ent bewaart wort" (bahwa istana
tersebut terutama sekali tempat duduk yang ditinggikan untuk raja
"Jawa" Pajajaran sekarang masih berkabut dan dijaga serta dirawat
oleh sejumlah besar harimau).
Rupanya laporan penduduk Parung
Angsana ada hubungannya dengan seorang anggota ekspedisi yang diterkam harimau
di dekat Cisadane pada malam tanggal 28 Agustus 1687. Diperkirakan Situs
Batutulis pernah menjadi sarang harimau dan ini telah menumbuhkan khayalan
adanya hubungan antara Pajajaran yang sirna dengan keberadaan harimau.
LAPORAN ADOLF WINKLER(1690)
Laporan Scipio menggugah para
pimpinan Kumpeni Belanda. Tiga tahun kemudian dibentuk kembali team ekspedisi
dipimpin oleh Kapiten Winkler. Pasukan Winkler terdiri dari 16 orang kulit
putih dan 26 orang Makasar serta seorang ahli ukur.
Perjalanan ringkas ekspedisi
Winkler adalah sebagai berikut :
Seperti Scipio, Winkler bertolak
dari Kedung Halang lewat Parung Angsana (Tanah Baru) lalu ke selatan. Ia
melewati jalan besar yang oleh Scipio disebut "twee lanen". Hal ini
tidak bertentangan Scipio. Winkler menyebutkan jalan tersebut sejajar dengan
aliran Ciliwung lalu membentuk siku-siku. Karena itu ia hanya mencatat satu
jalan. Scipio menganggap jalan yang berbelok tajam ini sebagai dua jalan yang
bertemu.
Setelah melewati sungai
Jambuluwuk (Cibalok) dan melintasi "parit Pakuan yang dalam dan berdinding
tegak ("de diepe dwarsgragt van Pakowang") yang tepinya membentang ke
arah Ciliwung dan sampai ke jalan menuju arah tenggara 20 menit setelah arca.
Sepuluh menit kemudian (pukul 10.54) sampai di lokasi kampung Tajur Agung
(waktu itu sudah tidak ada). Satu menit kemudian, ia sampai ke pangkal jalan
durian yang panjangnya hanya 2 menit perjalanan dengan berkuda santai.
Bila kembali ke catatan Scipio
yang mengatakan bahwa jalan dan lahan
antara Parung AngsanaBila kembali ke catatan Scipio yang mengatakan bahwa jalan
dan lahan antara Parung Angsana dengan Cipaku itu bersih dan di mana-mana penuh
dengan pohon buah-buhan, maka dapat disimpulkan bahwa kompleks
"Unitex" itu pada jaman Pajajaran merupakan "Kebun
Kerajaan". Tajur adalah kata Sunda kuno yang berarti "tanam, tanaman
atau kebun". Tajur Agung sama artinya dengan "Kebon Gede atau Kebun
Raya". Sebagai kebun kerajaan, Tajur Agung menjadi tempat bercengkerama
keluarga kerajaan. Karena itu pula penggal jalan pada bagian ini ditanami pohon
durian pada kedua sisinya.Dari Tajur Agung Winkler menuju ke daerah Batutulis
menempuh jalan yang kelak (1709) dilalui Van Riebeeck dari arah berlawanan.
Jalan ini menuju ke gerbang kota
(lokasi dekat pabrik paku "Tulus Rejo" sekarang). Di situlah letak
Kampung Lawang Gintung pertama sebelum pindah ke "Sekip" dan kemudian
lokasi sekarang (bernama tetap Lawang Gintung). Jadi gerbang Pakuan pada sisi
ini ada pada penggal jalan di Bantar Peuteuy (depan kompleks perumahan LIPI).
Dulu di sana ada pohon Gintung.
Di Batutulis Winkler menemukan
lantai atau jalan berbatu yang sangat rapi. Menurut penjelasan para
pengantarnya, di situlah letak istana kerajaan ("het conincklijke huijs
soude daerontrent gestaen hebben"). Setelah diukur, lantai itu membentang
ke arah paseban tua. Di sana ditemukan tujuh (7) batang pohon beringin.
Di dekat jalan tersebut Winkler
menemukan sebuah batu besar yang dibentuk secara indah. Jalan berbatu itu
terletak sebelum Winkler tiba di situs Bautulis, dan karena dari batu bertulis
perjalanan dilanjutkan ke tempat arca ("Purwa Galih"), maka lokasi
jalan itu harus terletak di bagian utara tempat batu bertulis (prasasti).
Antara jalan berbatu dengan batu besar yang indah dihubungkan oleh "Gang
Amil". Lahan di bagian utara Gang Amil ini bersambung dengan Bale Kambang
(rumah terapung). Bale kambang ini adalah untuk bercengkrama raja. Contoh bale
kambang yang masih utuh adalah seperti yang terdapat di bekas Pusat Kerajaan
Klungkung di Bali.
Dengan indikasi tersebut, lokasi
keraton Pajajaran mesti terletak pada lahan yang dibatasi Jalan Batutulis (sisi
barat), Gang Amil (sisi selatan), bekas parit yang sekarang dijadikan perumahan
(sisi timur) dan "benteng batu" yang ditemukan Scipio sebelum sampai
di tempat prasasti (sisi utara). Balekambang terletak di sebelah utara (luar)
benteng itu. Pohon beringinnya mestinya berada dekat gerbang Pakuan di lokasi
jembatan Bondongan sekarang.
Dari Gang Amil, Winkler memasuki
tempat batu bertulis. Ia memberitakan bahwa "Istana Pakuan" itu
dikeliligi oleh dinding dan di dalamnya ada sebuah batu berisi tulisan sebanyak
8 1/2 baris (Ia menyebut demikian karena baris ke-9 hanya berisi 6 huruf dan
sepasang tanda penutup).
Yang penting adalah untuk kedua
batu itu Winkler menggunakan kata "stond" (berdiri). Jadi setelah
terlantar selama kira-kira 110 th (sejak Pajajaran burak, bubar atau hancur,
oleh pasukan Banten th 1579), batu-batu itu masih berdiri, masih tetap pada
posisi semula.
Dari tempat prasasti, Winkler
menuju ke tempat arca (umum disebut Purwakalih, 1911 Pleyte masih mencatat nama
Purwa Galih). Di sana terdapat tiga buah patung yang menurut informan Pleyte
adalah patung Purwa Galih, Gelap Nyawang dan Kidang Pananjung. Nama trio ini
terdapat dalam Babad Pajajaran yang ditulis di Sumedang (1816) pada masa bupati
Pangeran Kornel, kemudian disadur dalam bentuk pupuh 1862. Penyadur naskah
babad mengetahui beberapa ciri bekas pusat kerajaan seperti juga penduduk
Parung Angsana dalam tahun 1687 mengetahui hubungan antara
"Kabuyutan" Batutulis dengan kerajaan Pajajaran dan Prabu Siliwangi.
Menurut babad ini, "pohon campaka warna" (sekarang tinggal
tunggulnya) terletak tidak jauh dari alun-alun.
LAPORAN ABRAHAM VAN
RIEBEECK(1703,1704,1709)
Abraham adalah putera Joan van
Riebeeck pendiri Cape Town di Afrika Selatan. Penjelajahannya di daerah Bogor
dan sekitarnya dilakukan dalam kedudukan sebagai pegawai tinggi VOC. Dua kali
sebagai Inspektur Jenderal dan sekali sebagai Gubernur Jenderal. Kunjungan ke
Pakuan tahun 1703 disertai pula oleh istrinya yang digotong dengan tandu.
Rute perjalanan tahun 1703:
Benteng - Cililitan - Tanjung - Serengseng - Pondok Cina - Depok - Pondok Pucug
(Citayam) - Bojong Manggis (dekat Bojong Gede) - Kedung Halang - Parung Angsana
(Tanah Baru).
Rute perjalanan tahun 1704:
Benteng - Tanah Abang - Karet - Ragunan - Serengseng - Pondok Cina dan
seterusnya sama dengan rute 1703.
Rute perjalanan tahun 1709:
Benteng - Tanah Abang - Karet - Serengseng - Pondok Pucung - Bojong Manggis -
Pager Wesi - Kedung Badak - Panaragan.
Berbeda dengan Scipio dan
Winkler, van Riebeeck selalu datang dari arah Empang. Karena itu ia dapat
mengetahui bahwa Pakuan terletak pada sebuah dataran tinggi. Hal ini tidak akan
tampak oleh mereka yang memasuki Batutulis dari arah Tajur. Yang khusus dari
laporan Van Riebeeck adalah ia selalu menulis tentang "de toegang"
(jalan masuk) atau "de opgang" (jalan naik) ke Pakuan.
BEBERAPA HAL YANG DAPAT
DIUNGKAPKAN DARI KETIGA PERJALANAN VAN RIEBEECK ADALAH:
Alun-alun Empang ternyata bekas
alun-alun luar pada zaman Pakuan yang dipisahkan dari benteng Pakuan dengan
sebuah parit yang dalam (sekarang parit ini membentang dari Kampung Lolongok
sampai Ci Pakancilan).
Tanjakan Bondongan yang sekarang,
pada jaman Pakuan merupakan jalan masuk yang sempit dan mendaki sehingga hanya
dapat dilalui seorang penunggang kuda atau dua orang berjalan kaki.
Tanah rendah di kedua tepi
tanjakan Bondongan dahulu adalah parit-bawah yang terjal dan dasarnya
bersambung kepada kaki benteng Pakuan. Jembatan Bondongan yang sekarang
dahulunya merupakan pintu gerbang kota.
Di belakang benteng Pakuan pada
bagian ini terdapat parit atas yang melingkari pinggir kota Pakuan pada sisi Ci
Sadane.
Pada kunjungan tahun 1704, di
seberang "jalan" sebelah barat tempat patung "Purwa Galih"
ia telah mendirikan pondok peristirahatan ("somerhuijsje") bernama
"Batutulis". Nama ini kemudian melekat menjadi nama tempat di daerah
sekitar prasasti tersebut.
HASIL PENELITIAN
Prasasti Batutulis sudah mulai
diteliti sejak tahun 1806 dengan pembuatan "cetakan tangan" untuk
Universitas Leiden (Belanda). Upaya pembacaan pertama dilakukan oleh Friederich
tahun 1853. Sampai tahun 1921 telah ada empat orang ahli yang meneliti isinya. Akan
tetapi, hanya C.M. Pleyte yang mencurahkan pada lokasi Pakuan, yang lain hanya
mendalami isi prasasti itu.
Hasil penelitian Pleyte
dipublikasikan tahun 1911 (penelitiannya sendiri berlangsung tahun 1903). Dalam
tulisannya, Het Jaartal op en Batoe-Toelis nabij Buitenzorg atau "Angka
tahun pada Batutulis di dekat Bogor", Pleyte menjelaskan,
"Waar alle legenden, zoowel
als de meer geloofwaardige historische berichten, het huidige dorpje
Batoe-Toelis, als plaats waar eenmal Padjadjaran's koningsburcht stond,
aanwijzen, kwam het er aleen nog op aan. Naar eenige preciseering in deze te
trachten".
(Dalam hal legenda-legenda dan
berita-berita sejarah yang lebih terpercaya, kampung Batutulis yang sekarang
terarah sebagai tempat puri kerajaan Pajajaran; masalah yang timbul tinggalah
menelusuri letaknya yang tepat).
Sedikit kotradiksi dari Pleyte:
meski di awalnya ia menunjuk kampung Batutulis sebagai lokasi keraton, tetapi
kemudian ia meluaskan lingkaran lokasinya meliputi seluruh wilayah Kelurahan
Batutulis yang sekarang. Pleyte mengidentikkan puri dengan kota kerajaan dan
kadatuan Sri Bima Narayana Madura Suradipati dengan Pakuan sebagai kota.
Babad Pajajaran melukiskan bahwa
Pakuan terbagi atas "Dalem Kitha" (Jero kuta) dan "Jawi
Kitha" (Luar kuta). Pengertian yang tepat adalah "kota dalam"
dan "kota luar". Pleyte masih menemukan benteng tanah di daerah Jero
Kuta yang membentang ke arah Sukasari pada pertemuan Jalan Siliwangi dengan
Jalan Batutulis.
Peneliti lain seperti Ten Dam
menduga letak keraton di dekat kampung Lawang Gintung (bekas) Asrama Zeni
Angkatan Darat. Suhamir dan Salmun bahkan menunjuk pada lokasi Istana Bogor
yang sekarang. Namun pendapat Suhamir dan Salmun kurang ditunjang data
kepurbakalaan dan sumber sejarah. Dugaannya hanya didasarkan pada anggapan
bahwa "Leuwi Sipatahunan" yang termashur dalam lakon-lakon lama itu
terletak pada alur Ci Liwung di dalam Kebun Raya Bogor. Menurut kisah klasik,
leuwi (lubuk) itu biasa dipakai bermandi-mandi para puteri penghuni istana.
Lalu ditarik logika bahwa letak istana tentu tak jauh dari "Leuwi
Sipatahunan" itu.
Pantun Bogor mengarah pada lokasi
bekas Asrama Resimen "Cakrabirawa" (Kesatrian) dekat perbatasan kota.
Daerah itu dikatakan bekas Tamansari kerajaan bernama "Mila Kencana".
Namun hal ini juga kurang ditunjang sumber sejarah yang lebih tua. Selain itu,
lokasinya terlalu berdekatan dengan kuta yang kondisi topografinya merupakan
titik paling lemah untuk pertahanan Kota Pakuan. Kota Pakuan dikelilingi oleh
benteng alam berupa tebing-tebing sungai yang terjal di ketiga sisinya. Hanya
bagian tenggara batas kota tersebut berlahan datar. Pada bagian ini pula
ditemukan sisa benteng kota yang paling besar. Penduduk Lawanggintung yang
diwawancara Pleyte menyebut sisa benteng ini "Kuta Maneuh".
Sebenarnya hampir semua peneliti
berpedoman pada laporan Kapiten Winkler (kunjungan ke Batutulis 14 Juni 1690).
Kunci laporan Winkler tidak pada sebuah hoff (istana) yang digunakan untuk
situs prasasti, melainkan pada kata "paseban" dengan tujuh batang beringin
pada lokasi Gang Amil. Sebelum diperbaiki, Gang Amil ini memang bernuansa kuno
dan pada pinggir-pinggirnya banyak ditemukan batu-batu bekas "balay"
yang lama.
Panelitian lanjutan membuktian
bahwa benteng Kota Pakuan meliputi daerah Lawangsaketeng yang pernah dipertanyakan
Pleyte. Menurut Coolsma, "Lawang Saketeng" berarti "porte
brisee, bewaakte in-en uitgang" (pintu gerbang lipat yang dijaga dalam dan
luarnya). Kampung Lawangsaketeng tidak terletak tepat pada bekas lokasi
gerbang.
Benteng pada tempat ini terletak
pada tepi Kampung Cincaw yang menurun terjal ke ujung lembah Ci Pakancilan,
kemudian bersambung dengan tebing Gang Beton di sebelah Bioskop Rangga Gading.
Setelah menyilang Jalan Suryakencana, membelok ke tenggara sejajar dengan jalan
tersebut. Deretan pertokoan antara Jalan Suryakencana dengan Jalan Roda di
bagian ini sampai ke Gardu Tinggi sebenarnya didirikan pada bekas pondasi
benteng.
Selanjutnya benteng tersebut
mengikuti puncak lembah Ci Liwung. Deretan kios dekat simpangan Jalan Siliwangi
- Jalan Batutulis juga didirikan pada bekas fondasi benteng. Di bagian ini
benteng tersebut bertemu dengan benteng Kota Dalam yang membentang sampai ke
Jero Kuta Wetan dan Dereded. Benteng luar berlanjut sepanjang puncak lereng Ci
Liwung melewati kompleks perkantoran PAM, lalu menyilang Jalan Raya Pajajaran,
pada perbatasan kota, membelok lurus ke barat daya menembus Jalan Siliwangi (di
sini dahulu terdapat gerbang), terus memanjang sampai Kampung Lawang Gintung.
Di Kampung Lawanggintung benteng
ini bersambung dengan "benteng alam" yaitu puncak tebing Ci Paku yang
curam sampai di lokasi Stasiun Kereta Api Batutulis. Dari sini, batas Kota
Pakuan membentang sepanjang jalur rel kereta api sampai di tebing Ci Pakancilan
setelah melewati lokasi Jembatan Bondongan. Tebing Ci Pakancilan memisahkan
"ujung benteng" dengan "benteng" pada tebing Kampung Cinca
PEMERINTAHAN DI PAKUAN PAJAJARAN
Kejatuhan Prabu Kertabumi
(Brawijaya V) Raja Majapahit tahun 1478 telah mempengaruhi jalan sejarah di
Jawa Barat. Rombongan pengungsi dari kerabat keraton Majapahit akhirnya ada
juga yang sampai di Kawali. Salah seorang diantaranya ialah Raden Baribin saudara
seayah Prabu Kertabumi. Ia diterima dengan baik oleh Prabu Dewa Niskala bahkan
kemudian dijodohkan dengan Ratna Ayu Kirana (puteri bungsu Dewa Niskala dari
salah seorang isterinya), adik Raden Banyak Cakra (Kamandaka) yang telah jadi
raja daerah di Pasir Luhur. Disamping itu Dewa Niskala sendiri menikahi salah
seorang dari wanita pengungsi yang kebetulan telah bertunangan.
Dalam Carita Parahiyangan
disebutkan "estri larangan ti kaluaran". Sejak peristiwa Bubat,
kerabat keraton Kawali ditabukan berjodoh dengan kerabat keraton Majapahit.
Selain itu, menurut "perundang-undangan" waktu itu, seorang wanita
yang bertunangan tidak boleh menikah dengan laki-laki lain kecuali bila
tunangannya meninggal dunia atau membatalkan pertunangan.
Dengan demikian, Dewa Niskala
telah melanggar dua peraturan sekaligus dan dianggap berdosa besar sebagai
raja. Kehebohan pun tak terelakkan. Susuktunggal (Raja Sunda yang juga besan
Dewa Niskala) mengancam memutuskan hubungan dengan Kawali. Namun, kericuhan
dapat dicegah dengan keputusan, bahwa kedua raja yang berselisih itu
bersama-sama mengundurkan diri. Akhirnya Prabu Dewa Niskala menyerahkan Tahta
Kerajaan Galuh kepada puteranya Jayadewata. Demikian pula dengan Prabu
Susuktungal yang menyerahkan Tahta Kerajaan Sunda kepada menantunya ini
(Jayadewata).
Dengan peristiwa yang terjadi
tahun 1482 itu, kerajaan warisan Wastu Kencana berada kembali dalam satu
tangan. Jayadewata memutuskan untuk berkedudukan di Pakuan sebagai
"Susuhunan" karena ia telah lama tinggal di sini menjalankan
pemerintahan sehari-hari mewakili mertuanya. Sekali lagi Pakuan menjadi pusat
pemerintahan.
Masa Akhir Kerajaan Sunda di
Pakuan Pajajaran berlangsung selama 97 tahun, yang secara berturut-turut
dipimpin oleh
Sri Baduga Maharaja (1482 - 1521)
Surawisesa (1521 - 1535)Ratu
Dewata (1535 - 1534)
Ratu Sakti (1543 - 1551)
Ratu Nilakendra (1551 - 1567)Raga
Mulya (1567 - 1579)
Prasasti Batutulis terletak di
jalan Batutulis, Kelurahan Batutulis, Kecamatan Bogor Selatan, Kota Bogor.
Kompleks Prasasti Batutulis memili luas 17 x 15 meter. Batu Prasasti dan
benda-benda lain peninggalan kerajaan Pajajaran terdapat dalam komplek ini.
Pada batu ini berukir kalimat-kalimat dengan huruf Sunda Kawi.
Setelah masa Klasik
(Hindu-Budha), selanjutnya kawasan Bogor pun melewati Masa Islam, Masa
Kolonial, Masa Pasca Kolonial.
KRONOLOGIS
SEJARAH BOGOR
Masa Pra Sejarah
Masa Klasik ( Hindu-Budha)
Masa Islam
Masa Kolonial
Masa Pasca Kolonial
sumber : budayabogor